
AKAL DAN WAHYU
Dalam Surah al-Isra` ayat 70, Allah menyatakan bahwa sesungguhnya Bani Adam telah dilebihkan di atas makhluk-makhluk Allah yang lain dengan kemuliaan dan keutamaan,
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا ﴿الإسراء : ۷۰﴾
Artinya: “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (QS. Al-Isra’: 70)
Keterangan di dalam kitab Tafsir Jalalain menyebut bahwa makna ‘memuliakan anak cucu Adam’ ialah memberikan mereka keutamaan berupa ilmu, akal, rupa yang paling baik, dan jasadnya dianggap suci setelah wafat. Di sini mari kita ambil satu kelebihan utama umat manusia yakni akal. Dengan akal, manusia terbedakan dari binatang. Dengan akal, manusia dapat berpikir untuk mengenali tanda-tanda kekuasaan Allah. Dengan akal pula, manusia diberi kebebasan untuk menentukan pilihan hidupnya, yang diikuti tanggung jawab atas konsekuensinya.
Dengan demikian, akal merupakan anugerah agung dari Allah yang potensial untuk digunakan sebagaimana mestinya. Jika diperhatikan, penyebutan kata ‘akal’ dalam al-Qur`an tidak pernah dalam bentuk kata benda (isim), melainkan selalu berbentuk kata kerja (fi’il). Artinya, akal ada supaya digunakan secara aktif untuk berpikir, memperhatikan, mengambil pelajaran, merenung, dan memahami. Manusia perlu mendayagunakan akalnya supaya memperoleh pengetahuan dan pemahaman—utamanya terhadap tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta. Lalu mampu menebarkan manfaat kepada sekitar dan mengoptimalkan tugas sebagai khalifah di muka bumi.
Namun, sifat akal manusia itu terbatas. Akal hanya dapat mrngantarkan manusia pada intelektualitas, tetapi tidak dengan spiritualitas. Kehidupan manusia terlalu kompleks jika hanya dijalani dengan mengandalkan intelektualitas. Kehidupan meniscayakan adanya sisi spiritualitas agar manusia dapat hidup dengan tenteram. Persoalan ini dalam ilmu modern kerap diistilahkan dengan IQ (kecerdasan intelektual), SQ (kecerdasan spiritual), dan EQ (kecerdasan emosional). Untuk mencapai kecerdasan spiritual dan emosional, manusia memerlukan apa yang disebut wahyu.
Wahyu diturunkan oleh Allah kepada para utusan-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia dan dijadikan sebagai petunjuk dan pedoman. Sebab manusia bisa menjadi liar dengan hawa nafsunya jika tidak dikendalikan dengan wahyu. Manusia bisa tersesat dengan intelektualitasnya sendiri jika tidak dituntun dengan wahyu. Dengan demikian, di sepanjang proses berpikir dengan akalnya, manusia harus tunduk pada rambu-rambu wahyu sehingga sisi spiritualitas dan kejiwaannya terbimbing dan terjaga. Kesatuan antara akal yang berdaya guna dan spiritual-emosional yang terbina menjadikan manusia mampu menjalani hidupnya dengan nafas duniawi dan ukhrawi yang seimbang. Mengupayakan kehidupan akhirat dengan tanpa melupakan bagiannya di dunia. Allah berfirman:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ ﴿القصص : ۷۷﴾
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 77)
والله اعلم بالصواب
Penulis:
Virgi Lisna Wardhani, S.Ag
Pengajar di PontrenMu al-Mumtazah Banjarsari
7 Februari 2025