Al-Mumtazah
SEBAB-SEBAB PENYIMPANGAN AKIDAH

SEBAB-SEBAB PENYIMPANGAN AKIDAH

Memiliki akidah yang benar merupakan modal utama seorang Muslim dalam menjalani kehidupan. Urgensi akidah yang benar (al-’aqidah ash-shahihah) layaknya kebutuhan primer bagi hati yang tanpanya hati manusia bisa rusak dan menyimpang. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan menyebut penyimpangan akidah sebagai sebuah petaka yang merusak dan membinasakan (مهلكة وضياع). Seseorang yang hatinya tidak diikat dengan simpul akidah yang sahih, maka ia akan termakan oleh kebimbangan-kebimbangan dan keraguan-keraguan. Ia akan menjadi budak bagi materi duniawi yang tidak ada habisnya.

Agama ini datang dengan pedoman untuk menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat. Jika tidak diikuti sebagaimana mestinya, maka jadilah masyarakat yang nihil akidah, seperti halnya hewan ternak bahkan lebih buruk. Allah berfirman dalam Surat al-Furqan ayat 44:

أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ اَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُوْنَ أَوْ يَعْقِلُوْنَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيْلًا

Artinya: “Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Tiada lain mereka itu hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi jalannya.

Betapa banyak manusia yang putus asa menjalani hidupnya, tak lain sebab mereka tidak memiliki pegangan akidah yang benar dan kuat. Harta yang ia miliki tidak sanggup memberikan ketenangan hidup sebab pada hakikatnya segala perbendaharaan duniawi membutuhkan bimbingan, pengarahan, dan petunjuk dari rambu-rambu agama yang didasari oleh akidah shahihah.

Dengan demikian, penting untuk memastikan bahwa kita berada di atas pijakan akidah yang benar. Tidak kalah penting ialah mengetahui sebab-sebab penyimpangan akidah sebagai bekal ilmu supaya kita tidak terjerumus ke dalamnya. Disadur dari kitab ‘Aqidah at-Tauhid,Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan menjabarkan lima penyebab utama terjadinya penyimpangan akidah:

  1. Jahil terhadap akidah yang sahih

Ketidaktahuan tentang ilmu akidah yang benar bisa disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya ialah keengganan untuk mempelajarinya, tidak menaruh perhatian yang cukup terhadapnya, serta tidak berupaya menjaga keutuhannya. Apabila demikian yang terjadi, maka akan lahir generasi yang tidak mengenali akidahnya sendiri, sehingga tidak ada kehati-hatian terhadap hal-hal yang dapat merusak dan menyimpangkan akidah. Sekat yang memisahkan kebenaran dan kebatilan menjadi kabur bahkan terbolak-balik. Umar bin al-Khattab telah memperingatkan, “Sesungguhnya simpul Islam akan terlepas satu per satu jika muncul di dalamnya orang-orang yang tidak lagi menyadari kebodohan.

  • Fanatisme kepercayaan nenek moyang

Mempertahankan keyakinan yang menyimpang warisan turun temurun dari leluhur. Tidak mau menerima kebenaran yang menyelisihi anutan nenek moyangnya tersebut dan tetap berpegang teguh padanya meskipun itu adalah sebuah kebatilan yang nyata. Orang-orang seperti ini sudah ada sejak dahulu dan Allah menyebutnya di dalam al-Qur`an: “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab, ‘(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).’ Padahal nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun dan tidak mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah: 170)

  • Taklid buta

Yakni mengikuti suatu dogma akidah tanpa mengetahui pijakan dalilnya dan sejauh mana keabsahannya. Sebagaimana hal ini terjadi pada golongan-golongan menyimpang seperti Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan lain-lain. Mereka berpedoman pada ajaran orang-orang sesat, sehingga mereka pun ikut tersesat dan terpalingkan dari akidah yang sahih.

  • Berlebihan (ghuluw) terhadap para auliya` dan orang salih

Bersikap melampaui batas dalam mengkultuskan para wali dan orang salih. Orang-orang seperti ini bahkan tidak tanggung-tanggung untuk mengangkat derajat auliya` dan orang salih pada maqam yang tidak seharusnya. Seperti meyakini bahwa mereka dapat mendatangkan manfaat dan menolak bala` serta menjadi wasilah antara ia dengan Allah ketika menghajatkan sesuatu. Lambat laun penyembahan tidak lagi ditujukan kepada Allah, melainkan kepada orang-orang salih yang mereka kultuskan itu.

Perbuatan semacam ini nyata masih terjadi dan dapat disaksikan ketika segolongan manusia berbondong-bondong mendatangi makam orang salih dan memohon doa atau meminta perlindungan. Perbuatan menyimpang semacam ini adalah kelakukan kaum Nabi Nuh yang kisahnya diabadikan di dalam al-Qur`an, “Dan mereka berkata, ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, jangan pula Suwa`, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr’” (Nuh: 23)

  • Lalai dari mentadabburi ayat-ayat Allah

Baik itu ayat-ayat kauniyyah maupun ayat-ayat qauliyyah, dan justru terpukau dengan produk-produk peradaban asing (Barat) yang bersifat materialistik dan sekuler. Sampai-sampai mengira bahwa buah peradaban yang menyilaukan itu adalah semata-mata hasil kerja keras manusia an sich—tanpa mengaitkannya dengan eksistensi dan kekuasaan Tuhan. Dengan demikian, yang terjadi adalah kepongahan sebagai seorang manusia. Padahal seharusnya Qarun sudah cukup menjadi pelajaran kala ia mengatakan dengan congkak, “Dia (Qarun) berkata, ‘ Sesungguhnya aku diberi (harta itu) semata-mata karena ilmu yang ada padaku…’” (Al-Qashash: 78)

Penting untuk meluaskan pandangan melihat tanda-tanda kebesaran Allah di muka bumi, lalu memikirkan dan mengambil pelajaran darinya sebagai bentuk penguatan akidah. Terhadap daratan yang terhampar, lautan yang terbentang, siang dan malam yang silih berganti, matahari, bulan, bintang-gemintang, menakjubkannya penciptaan manusia, lalu berpasang-pasangan, dan seterusnya. Renungilah firman Allah yang agung berikut:

Allahlah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air (hujan) dari langit, kemudian dengan (air hujan) itu Dia mengeluarkan berbagai buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Dan dia telah menundukkan kapal bagimu agar berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan dia telah menundukkan sungai-sungai bagimu. Dan Dia telah menundukkan matahari dan bulan bagimu yang terus menerus beredar (dalam orbitnya), dan telah menundukkan siang dan malam bagimu. Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah niscaya kamu tidak dapat menghitungnya. Sungguh manusia itu sangat zalim dangat mengingkari (nikmat Allah).” (Ibrahim: 32-34)

Penulis:

Virgi Lisna Wardhani, Pengajar di PontrenMu al-Mumtazah Banjarsari

26 Januari 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *