Al-Mumtazah
URGENSI AKIDAH DALAM ISLAM

URGENSI AKIDAH DALAM ISLAM

Sebelum adanya ilmu fikih, akhlak, hadis, dan berbagai cabang keilmuan dalam Islam, akidah merupakan ilmu basis yang mendasari seluruh bangunan ilmu. Ilmu akidah adalah asas atau pondasi yang keseluruhan syariat Islam dikonstruksi di atasnya. Allah swt berfirman di dalam Surah Ibrahim ayat 24-25:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةٍ كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَاِبٌت وَّفَرْعُهَا فِي السَّمَآءِ (24) تُؤْتِيْ أُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ (25)

Artinya: “Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit. (Pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah mmebuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim: 24-25)

Melalui ayat tersebut, Allah mengumpamakan iman seperti sebuah pohon yang kukuh. Akarnya menghujam kuat ke dalam tanah dan cabangnya tinggi menjulang. Dari akar sebagai tamsil akidah, tumbuh batang yang mengibaratkan ibadah mahdhah. Lalu berkembang menjadi ranting-ranting yang ditumbuhi dedaunan rindang, sebagai perumpamaan ibadah ghairu mahdhah dan akhlak. Dengan penggambaran seperti ini, dapat dipahami bahwa akidah menduduki posisi krusial dalam ajaran Islam sebagaimana peran pokok akar dalam anatomi pohon.

Jika akarnya baik dan kuat, maka kokohlah pula batangnya, lebat menghijau dedaunannya, serta harum bunganya dan ranum buahnya. Apabila akidah di dalam hati tertancap dengan mantap berdasarkan ilmu dan keyakinan, maka amalan ibadah otomatis akan menjadi kelanjutannya. Ibadah yang berangkat dari akidah yang benar niscaya lurus niatnya, bersih pelaksanaannya, dan tidak tercabut dari esensi ibadah itu sendiri. Sebab akidah akan menuntun seseorang untuk memahami dan menghayati kepada siapa ia menghadap ketika salat, untuk apa ia berpuasa, dalam rangka apa zakat dikeluarkan, dan seterusnya.

Ketika ibadah sudah menjadi kebutuhan dan sumber ketenangan—bukan sekadar penggugur kewajiban—maka bunga-bunga akhlak mulia dan amal salih akan mekar dan berbuah takwa. Menjadi seorang muttaqi, seorang muslim sejati yang menghamba kepada Allah dengan kaffah. Allah berfirman:

يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا ادْخُلُوْا فِي السلْمِ كَآفَّةً وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208)

Penanaman akidah harus didahulukan dari tuntunan taklif (beban) syariat. Seseorang perlu mengenal siapa tuhannya sebelum menjalankan perintah dan larangan-Nya. Seseorang perlu mengetahui siapa nabinya sebelum menyelami sunnah-sunnahnya. Hal ini supaya syariat tidak dianggap sebagai seperangkat aturan yang mengekang dan membebani, tetapi benar-benar dijalankan sebagai wujud cinta, penghambaan, dan berserah diri. Itulah mengapa dakwah Rasulullah saw di Mekah selama 13 tahun berisi ajaran tauhid dan pemurnian akidah masyarakat Arab jahiliyah yang saat itu masih terkotori dengan kesyirikan. Bukan hanya Nabi Muhammad saw, semua rasul pun memiliki misi yang sama di permulaan dakwahnya, yakni meluruskan dan memperbaiki akidah umat. Sebagaimana ajakan Nabi Nuh as kepada umatnya:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوْحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِّنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنِّيْ أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيْمٍ

Artinya: “Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata, ‘Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada Tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab pada hari yang dahsyat (kiamat)’” (QS. Al-A’raf: 59)

Demikian pulalah yang disampaikan oleh Hud, Salih, Syu’aib, dan sekalian nabi ‘alaihimussalam kepada para mad’u (objek dakwah) nya.

Setelah akidah telah benar-benar teguh tertanam di hati para sahabat, barulah pada periode dakwah di Madinah wahyu yang berisi perintah dan larangan mulai diturunkan. Mendakwahkan hal ihwal pembebanan syariat kepada para sahabat bukanlah perkara yang sulit. Sebab, ketika urusan akidah sudah selesai, maka perintah tidak menjadi beban dan larangan tidak menjadi sandungan. Sebagaimana definisi etimologinya, akidah (العقيدة) diambil dari kata al-‘aqdu (العقد) yang bermakna rabthu asy-syai` (ربط الشيء), artinya mengikat sesuatu. Dari sini dapat dipahami bahwa sejatinya hati yang sudah terikat pada Rabbnya akan mudah untuk taat kepada-Nya.

Banjarsari.

Ahad, 1 Desember 2024

Penulis:
Virgi Lisna Wardhani ( Pengajar di PontrenMu Al-Mumtazah Banjarsari )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *