Muhammadiyah
Sains di Dunia Islam Harus Bangkit

Sains di Dunia Islam Harus Bangkit

MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Dengan melemah-redupnya keunggulan pemerintahan Muslim pada akhir abad tengah, menghilang pula spirit Piagam Madinah dan spirit toleransi dalam dunia Muslim. Pengekangan dan pembatasan mulai diberlakukan oleh pemerintahan Almohad di Maghrib (Afrika Utara) dan Andalusia pada abad ke 12-13. Fase kemerosotan ini lekat dengan dimulainya krisis peradaban Islam.

“Ketika budaya Muslim hebat dan unggul dalam ilmu (science) dan budaya (culture), maka keterbukaan adalah gambaran umumnya. Keterbukaan dan toleransi adalah gambaran umum dari peradaban yang hebat, unggul,” tutur Amin Abdullah dalam Pengajian Ramadan PP ‘Aisyiyah pada Kamis (21/04).

Ketika ilmu pengetahuan tidak dikuasai, seringkali melahirkan budaya xenophobic atau anti liyan (rafdhu al-ghair) dan intoleran (karahiyyatu al-ghair). Fenomena kemerosotan ini sangat jelas dijumpai tidak hanya di Timur Tengah tetapi juga ditemukan sekarang di Eropa dan Amerika juga. Intoleransi terlahir dari sikap pembangkangan terhadap ilmu pengetahuan.

“Ketika Muslim mulai mengalami kemunduran di era Modern, maka sikap Puritan dan berpegang teguh pada tradisi masa lalu membuka jalan untuk bangkitnya sikap intoleran juga,” tutur Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.

Padahal, sebagai catatan sejarah, peradaban Islam telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ilmu pengetahuan di Eropa. Bukan hanya matematika atau kedokteran atau teknik di bidang pertanian dan arsitektur yang diserap Eropa dari dunia Muslim. Kegemilangan mereka karena menerapkan prinsip-prinsip dasar pemikiran ilmiah seperti observasi, eksperimen, penalaran induktif, dan verifikasi.

Namun, setelah berakhirnya era abad tengah, dunia Muslim saat ini tidak mengalami kecemerlangan ilmiah yang sama seperti seribu tahun yang lalu. Justru sebaliknya, seperti yang dikatakan oleh fisikawan Pakistan Abdus Salam (wafat 1996): “Dari semua peradaban di planet ini, sains adalah yang paling lemah di tanah Islam”.

Saat ini ada sekitar 1,6 miliar umat Islam di seluruh dunia namun dari tahun 1901 hingga 2021 hanya 1,4% atau 12 orang yang menerima Nobel. Padahal, Yahudi cuma sekitar 15 juta jiwa (sekitar 0,2% populasi dunia) menghasilkan 201 peraih nobel atau sekitar 22,5%, peraih Nobel dari kelompok “non-agama” sekitar 10,5%, umat Kristen yang paling banyak memproduksi peraih Nobel sekitar 65,4% (427 orang).

“Bila sains tertinggal ekonomi juga akan tertinggal,” tegas Amin.

sumber : https://muhammadiyah.or.id/sains-di-dunia-islam-harus-bangkit/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *